Banner 1

Ketulusan Ibadah: Kisah Pengampunan Seorang Ahli Ibadah yang Menyentuh Hati

 حكي أن رجلا من بني إسرائيل عبد الله تعالى سبعين سنة، فأراد الله تعالى أن يجلوه على الملائكة فأرسل الله إليه ملكا يخبره أنه مع تلك العبادة لا يليق به دخول الجنة، فلما بلغه قال العابد : نحن خلقنا للعبادة، فينبغي لنا أن نعبده. فلما رجع الملك قال الله تعالى: ماذا قال عبدي؟ قال : إلهي، أنت أعلم بما قال، فقال الله تعالى: إذا هو لم يعرض عن عبادتنا، فنحن مع الكرم لا نعرض عنه، اشهدوا يا ملائكتي أني قد غفرت له.

Artinya: Dikisahkan bahwa seorang lelaki dari Bani Israil telah menyembah Allah selama tujuh puluh tahun. Allah SWT ingin menampakkan keadaan hamba tersebut kepada para malaikat. Maka Allah mengutus malaikat untuk menyampaikan kabar kepadanya bahwa dengan semua ibadah itu, ia belum pantas masuk surga. Ketika berita itu sampai kepadanya, lelaki yang ahli ibadah itu berkata, "Kami diciptakan untuk beribadah, maka sudah sepatutnya kami menyembah-Nya."

Setelah malaikat kembali, Allah SWT bertanya, "Apa yang dikatakan hamba-Ku?" Malaikat menjawab, "Wahai Tuhanku, Engkau lebih mengetahui apa yang dikatakannya." Allah berfirman, "Jika dia tidak berpaling dari ibadah kepada-Ku, maka Kami dengan kemurahan-Ku pun tidak akan berpaling darinya. Saksikanlah, wahai para malaikat-Ku, bahwa Aku telah mengampuninya."

Sebelum kita lebih jauh membahas kisah di atas, bagi yang ingin mempelajari cara membacanya secara lebih mendalam, dapat melihat penjelasan lengkap dalam bentuk video yang membahasnya dari sisi Nahwu dan Shorof. Silahkan klik di sini untuk menonton videonya.

Kisah yang diceritakan dalam kitab Ayyuhal Walad hal 75 yang disusun oleh Imam Ghazali di atas mengingatkan kita pada makna sejati dari sebuah ibadah. Ibadah tidak hanya sekadar ritual yang diulang-ulang, tapi sebuah bentuk pengabdian tulus yang dilakukan tanpa pamrih. Kisah ini datang dari masa Bani Israil, ketika seorang lelaki menjalani hidupnya dalam ibadah yang terus-menerus kepada Allah selama tujuh puluh tahun. Namun, yang luar biasa dari cerita ini bukan hanya tentang lamanya waktu ibadah, melainkan pesan yang terselip di dalamnya: bahwa ibadah yang benar adalah tentang ketulusan hati, bukan sekadar hitungan amal.

Ibadah 70 Tahun: Apa yang Terjadi?

Lelaki ahli ibadah tersebut dikenal karena ketekunannya dalam menyembah Allah. Selama tujuh dekade, ia tak henti-hentinya beribadah, melaksanakan segala bentuk pengabdian yang ia yakini akan mendekatkannya kepada surga. Allah SWT, dalam kebijaksanaan-Nya, ingin memberikan pelajaran bukan hanya untuk ahli ibadah itu, tetapi juga kepada malaikat dan seluruh umat manusia. Maka Allah mengutus seorang malaikat untuk menyampaikan pesan yang mengejutkan kepada ahli ibadah tersebut: dengan semua amalnya selama tujuh puluh tahun, ia belum cukup pantas untuk masuk ke surga.

Bagi sebagian orang, berita semacam ini mungkin akan menjatuhkan semangat, bahkan memunculkan rasa putus asa. Namun, reaksi ahli ibadah tersebut sangat mengagumkan dan penuh kebijaksanaan. Apa yang ia katakan?

"Kami Diciptakan untuk Beribadah"

Saat mendengar pesan tersebut, tanpa sedikit pun keraguan atau kecewa, lelaki ahli ibadah itu dengan tenang berkata, “Kami diciptakan untuk beribadah, maka sudah seharusnya kami menyembah-Nya.” Ucapannya sederhana, namun penuh makna. Bagi lelaki itu, ibadah bukanlah sarana untuk tawar-menawar dengan Allah demi masuk surga. Ia menyadari, tugas utama manusia di dunia ini adalah menyembah Allah, apapun ganjarannya.

Baginya, ibadah adalah bentuk pengabdian yang murni, dilakukan bukan karena mengejar hadiah surga semata, tapi karena ia adalah hamba yang menyadari tugas dan tanggung jawabnya kepada Sang Pencipta.

Rahmat Allah Melampaui Amal Hamba

Setelah mendengar jawaban tersebut, malaikat kembali kepada Allah dan menyampaikan apa yang diucapkan oleh hamba-Nya itu. Allah SWT kemudian bertanya, “Apa yang dikatakan hamba-Ku?” Malaikat menjawab, “Wahai Tuhanku, Engkau lebih mengetahui apa yang dikatakannya.” Allah SWT pun berfirman, “Jika dia tidak berpaling dari ibadah kepada-Ku, maka Kami pun dengan kemurahan Kami tidak akan berpaling darinya. Saksikanlah, wahai para malaikat-Ku, bahwa Aku telah mengampuninya.”

Pesan ini begitu kuat: Allah tidak pernah berpaling dari hamba-Nya yang tulus dan setia dalam beribadah, sekalipun amal mereka mungkin belum sempurna atau belum cukup. Rahmat dan kasih sayang Allah melampaui amal ibadah manusia. Pengampunan-Nya adalah anugerah yang diberikan kepada mereka yang terus berusaha mendekatkan diri kepada-Nya, tanpa pamrih dan tanpa berpaling.

Pelajaran Berharga dari Kisah Ini

Kisah ini mengajarkan kita tentang makna mendalam dari ketulusan dalam beribadah. Ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Ibadah adalah Tujuan, Bukan Sekadar Alat Mendapat Ganjaran
    Sering kali, kita terjebak dalam pemikiran bahwa ibadah hanya berfungsi sebagai tiket untuk masuk surga atau menghindari neraka. Namun, kisah ini mengingatkan kita bahwa ibadah adalah tujuan hidup manusia. Kita diciptakan untuk menyembah Allah, dan itu sendiri sudah menjadi alasan yang cukup kuat untuk terus beribadah, tanpa perlu menghitung-hitung balasan yang akan kita terima.

  2. Ketulusan Lebih Utama daripada Kuantitas Ibadah
    Lelaki dalam kisah ini telah beribadah selama tujuh puluh tahun, tetapi Allah menunjukkan bahwa yang lebih penting dari jumlah ibadah adalah niat dan ketulusan di baliknya. Ketika ibadah dilakukan dengan hati yang ikhlas, semata-mata karena Allah, maka rahmat dan kasih sayang-Nya akan selalu menyertai kita.

  3. Rahmat Allah Mengalahkan Segala Amal
    Tidak peduli seberapa banyak amal yang kita lakukan, rahmat Allah jauh lebih besar dari itu semua. Bahkan, surga tidak bisa diraih hanya dengan amal, melainkan dengan rahmat Allah. Inilah yang seharusnya menjadi motivasi kita: terus beribadah dan memohon rahmat-Nya, tanpa pernah merasa cukup dengan amal yang kita miliki.

  4. Jangan Berhenti Beribadah Meski Merasa Tidak Layak
    Mungkin kita pernah merasa bahwa ibadah kita tidak sempurna, atau dosa-dosa kita terlalu banyak sehingga kita tidak pantas mendapatkan ampunan Allah. Kisah ini mengajarkan bahwa kita tidak boleh berhenti beribadah hanya karena merasa tidak layak. Allah adalah Maha Pengampun, dan selama kita tidak berpaling dari-Nya, Allah pun tidak akan berpaling dari kita.

Ibadah dan Pengampunan: Dua Hal yang Tidak Terpisahkan

Ketulusan dalam ibadah akan selalu membawa kita pada kedekatan dengan Allah. Kisah ini adalah contoh nyata bagaimana seorang hamba yang tulus, yang tidak pernah berharap apapun selain ridha Allah, mendapatkan ampunan dan rahmat yang luar biasa. Ibadah yang sejati bukanlah tentang seberapa banyak atau seberapa lama, tetapi tentang seberapa ikhlas kita melakukannya.

Jadi, bagaimana dengan kita? Sudahkah ibadah kita dilandasi ketulusan hati, atau masih terjebak dalam hitungan dan harapan imbalan duniawi? Kisah ini mengajak kita untuk merenung dan memperbaiki niat dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan. Karena pada akhirnya, rahmat Allah lah yang akan membawa kita kepada kebahagiaan yang sejati, di dunia dan akhirat.

Mari kita berusaha untuk terus beribadah dengan hati yang tulus, dan selalu memohon rahmat-Nya dalam setiap langkah yang kita ambil. Allah Maha Pengampun, dan pintu-Nya selalu terbuka bagi hamba-Nya yang ikhlas dan setia.